Senin, 25 Februari 2019

MENWUJUDKAN KEMERDEKAAN PERS DI INDONESIA, MUNGKINKAH ?



Oleh Wilson Lalengke

Jakarta – Di masyarakat yang sudah maju, ketakutan terhadap pers dan media massa adalah sesuatu yang jadi bahan tertawaan. Justru sebaliknya, masyarakat di sana memandang pers dan publikasi adalah hal mutlak yang harus diberdayakan, dimanfaatkan dan disahabati oleh setiap orang yang ingin berhasil dalam hidupnya, di bidang apapun. Bahkan, warga masyarakat di seberang sana meyakini bahwa pers dan publikasi merupakan penentu nasib setiap orang. Oleh karena itu, pers dan media massa menjadi barang fungsional yang amat penting untuk dilakoni setiap orang secara bebas tanpa hambatan apapun dari pihak manapun, termasuk hambatan dari negara.

Di Indonesia, pers masih merupakan momok mengerikan bagi sebagian warga masyarakat. Terlebih lagi bagi para pejabat, aparat, dan pengemban kekuasaan negara. Apalagi terhadap pers yang independen dan merdeka, akan ditentang sekuat-kuatnya dengan berbagai alibi dan alasan, yang umumnya terkesan absurd. Masing-masing pasti punya alasan tertentu atas sikapnya menjauhi pers dan media massa. Namun, secara umum dapat disimpulkan bahwa ketakutan dan kekuatiran terhadap pers dan publikasi, khususnya bagi para pejabat dan sebangsanya, bersumber dari kesadaran diri atas “beban moral” yang disandangnya sejalan dengan amanah publik yang diembannya. Penyakit tidak jujur adalah salah satu sumber utama yang memicu ketakuatan seseorang saat berhadapan dengan media massa.

Parahnya, sidrom ketakutan itu juga diidap oleh oknum-oknum pejabat dewan pers, yang diberi amanah untuk mengembangkan kemerdekaan pers di negeri ini. Mereka akhirnya tidak lebih dari sekelompok anjing penjaga bagi para oknum tertentu yang merasa terganggu oleh kontrol masyarakat pers. Berbagai kasus pemenjaraan wartawan yang berawal dari delik pemberitaan di media massa di berbagai daerah di tanah air adalah bukti kongkrit atas kebiadaban oknum tertentu, yang diback-up oleh dewan pers, terhadap kemerdekaan pers.

Menyikapi “keterbelakangan mental” para oknum tertentu terhadap pers, media massa, dan publikasi yang bebas-merdeka, perlu kiranya dilakukan upaya yang terus-menerus dari para pekerja pers dan pemerintah untuk mengedukasi masyarakat, terutama para pemangku kekuasaan tentang sistim kerja pers dan cara “menjinakkan” mahluk yang menakutkan ini. Salah satunya adalah dengan membumikan Undang-Undang (UU) dan peraturan yang terkait dengan pers itu sendiri. Semua elemen rakyat, dari level teratas hingga ke kelompok rakyat jelata perlu mengerti, memahami, dan sedapat mungkin mengimplementasikan UU dan peraturan pers dalam kehidupan sehari-hari.

Saat ini, yang menjadi acuan dasar bagi perjuangan mewujudkan kemerdekaan pers di Indonesia adalah Pasal 28, Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UU NRI), plus seluruh penjabarannya dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Pondasi dasar yang tertuang dalam konstitusi negara dan UU Pers itulah yang semestinya dipahamkan kepada semua orang, tidak hanya kepada masyarakat pekerja pers. Dengan demikian, setiap warga bisa mengendalikan pikiran, sikap dan perilaku kesehariannya, terutama bagi mereka yang hidupnya dibiayai negara, agar terhindar dari terkaman pers yang menakutkan itu.

Untuk menghindari pembahasan panjang atas pasal demi pasal UU Pers, kita coba belajar memahami pers dan publikasi, dari perspektif UU, dengan menelisik penjelasan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, khususnya pada bagian UMUM sebagaimana dituliskan lengkap berikut ini.

Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".

Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.

Kontrol masyarakat dimaksud antara lain: oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara.

Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari penjelasan UU Pers pada bagian UMUM di atas, dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut:

1. Landasan utama UU Pers adalah Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Repulbik Indonesia, sebelum amandemen, yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” (UU Pers lahir pada tahun 1999).

2. Walaupun landasan utama UU Pers hanyalah pasal 28 UUD NRI, namun karena UU Pers itu ditegaskan berorientasi untuk mewujudkan kehendak empat buah pasal Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (yang lahir pada tahun 1998) dan Article 19 dari Universal Declaration of Human Right (yang lahir tahun 19948), maka jiwa dan semangat UU Pers sangat sejalan dengan Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD NRI (yang lahir pada 18 Agustus 2000). Di bawah ini adalah bunyi pasal-pasal yang terkait dengan kemerdekaan pers sebagai berikut:

Pasal 14 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani.”
Pasal 19 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Pasal 20 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”

Pasal 21 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Article 19 dari Universal Declaration of Human Right (Piagam HAM PBB): “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”

Pasal 28E ayat (3) UUD NRI: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Pasal 28F UUD NRI: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

3. Selain wujud implementasi kedaulatan rakyat dalam bentuk pemilihan umum dengan berbagai level dan variannya, kemerdekaan pers merupakan salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Oleh karena itu, kedua wujud implementasi kedaulatan rakyat tersebut harus seiring-sejalan, dimana jaminan atas kemerdekaan pers akan menjadi penentu kualitas pemilihan umum. Kontrol sosial yang ketat terhadap setiap tahapan proses pemilihan umum oleh masyarakat pers menjadi pertaruhan yang amat menentukan keberhasilan mewujudkan pemilihan umum yang baik di suatu negara demokrasi seperti Indonesia.

4. Keberadaan pers yang merdeka sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Ini menjadi pesan amat penting bagi setiap orang yang diberi amanah memegang kekuasaan, di semua level dan jenis kekuasaan, bahwa mereka tidak diberi hak oleh negara untuk mengkerdilkan pers, semisal melalui perilaku menghambat kerja-kerja pers melalui penyiksaan, mengancam, jebak-menjebak pers, menyuap, dan kriminalisasi masyarakat pers. Para pemangku kepentingan kekuasaan negara telah diberikan fasilitas hidup oleh negara sebagai konsekwensi beban amanah yang diberikan rakyat, yang oleh karena itu mereka wajib menghormati dan tunduk-taat kepada sistim kontrol masyarakat pers yang independen, bebas, dan merdeka.

5. Masyarakat pekerja pers, baik profesional maupun non-profesional (pewarta warga), wajib melakukan kerja-kerja jurnalisme – yakni mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan mempublikasikan informasi – secara profesional, berkualitas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalisme. Pengertian ‘secara profesional’ di sini adalah bahwa setiap orang yang melakukan fungsi jurnalistik harus memiliki kemampuan jurnalistik yang mumpuni, memahami sistim publikasi yang baik dan benar, dan memegang teguh kaidah-kaidah yang berlaku di dunia jurnalisme, yang kesemuanya itu ditujukan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas (terlepas dari apakah yang bersangkutan mendapatkan imbalan materi atau tidak sama sekali). Produk pers harus dihasilkan melalui proses jurnalisme yang serius, tidak asal-asalan, dan bertanggung jawab.

6. Dalam menjalankan tugasnya, pers wajib dapat dikontrol oleh publik. Fungsi kontrol itu tidak hanya dilakukan oleh orang, kelompok, dan/atau lingkungan yang menjadi obyek pemberitaan, namun juga oleh sesiapapun juga warga/komunitas pemerhati pers dan media massa, serta tokoh/individu. Dalam konteks ini sesungguhnya keberadaan dewan pers dan lembaga-lembaga pemantau pers serta individu (pakar/praktisi) menemukan posisi strategisnya di dunia pers. Oleh sebab itu, perlu didorong lahirnya lembaga-lembaga semacam dewan pers independen dan institusi pemantau media (media watch), baik skala nasional maupun lokal.

Pada akhirnya, pelibatan secara aktif masyarakat banyak terhadap dunia pers sangat diperlukan. Kepedulian, perhatian, dan peran serta setiap warga dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain melakukan kerja-kerja jurnalistik secara fungsional (tanpa harus meninggalkan pekerjaan/profesi utama), memantau perkembangan pers hingga ke tataran teknis proses pembuatan produk pers, mengawasi perilaku para pekerja pers, dan lain-lain. Bahkan, lebih dari pada itu, masyarakat juga dapat melakukan pembinaan, pelatihan, dan peningkatan sumber daya manusia pers, serta menjembantani penyelesaian sengketa pers yang terjadi di masyarakat. Hanya dengan demikian kita mampu mewujudkan pers yang merdeka dan bertanggung-jawab di negeri ini. (*)

Selasa, 12 Februari 2019

PPWI DUKUNG FAHRI HAMZAH SOAL PENGHENTIAN UU ITE UNTUK BUNGKAM RAKYAT


Jakarta - Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA mengatakan sangat setuju dan mendukung pernyataan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah terkait dihapuskannya penggunaan pasal UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan delik pencemaran nama baik dan dugaan ujaran bernada sumbang atau negatif. Hal itu, menurutnya, karena UU ITE merupakan aturan yang sangat subyektif dan rentan ditumpangi kepentingan politik, oknum birokrat dan pengusaha nakal.

"Kita sangat mendukung pernyataan Pak Fahri Hamzah terkait penghentian penggunaan pasal karet UU ITE itu untuk menjerat warga yang kritis dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran bernada negatif" kata Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu.

Selain karena pasal 27 UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE bertentangan dengan UUD, lanjut Wilson, pasal tersebut juga sangat subyektif, selalu difungsikan untuk memenuhi hawa nafsu oknum sasaran kritik yang sakit hati dan dendam terhadap pernyataan warga, termasuk wartawan. "Pasal 27 UU ITE itu, bagi manusia berakal sehat dan punya nalar yang baik, jelas-jelas bertentangan dengan UUD pasal 28 F. Pasal ITE itu selama ini selalu dijadikan senjata bagi oknum sasaran kritik dan pemberitaan untuk membalas kritikan menggunakan tangan polisi, jaksa, dan hakim. Oknum tersebut sakit hati atas pernyataan yang ditujukan kepadanya, dan ingin balas dendam. Namun, karena ketiadaan argumentasi sebab daya pikirnya yang rendah, maka oknum itu ambil jalan pintas dengan lapor polisi," urai lulusan pascasarjana bidang Applied Ethics dari Utrecht University, Belanda ini, sambil mencontohkan kasus korban pelecehan seksual Baiq Nuril yang harus jadi terpidana atas laporan oknum pelaku pelecehan baru-baru ini.

Sebagaimana disampaikan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah kepada media bahwa UU ITE tidak dimaksudkan untuk melarang orang bicara, dan  UU itu tidak berdiri sendiri sebagai UU pidana umum. UU ITE hanya untuk melengkapi KUHP,  karena unsur-unsurnya menyangkut siapa yang punya legal standing, itu ada di KUHP.

"UU ITE itu hanya bisa berdiri sendiri sebagai UU Administrasi Ekonomi," ujar Fahri Hamzah menjawab wartawan usai menyampaikan orasi kebangsaannya pada deklarasi Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi) chapter Gorontalo, di Gorontalo kemarin, Minggu (10/2l).

Fahri  menegaskan UU ITE itu tidak untuk larang orang menyampaikan perasaan, aspirasi, atau pemikirannya. "Ini UU untuk administrasi ekonomi sebagai pelengkap UU Resi Gudang dan UU Penanaman Modal Asing yang kita buat dari tahun 2006-2008," tambah Fahri.

Sebelumnya, dalam paparannya di forum Indonesia Lawyer Club (ILC), Selasa (5/2/2019) lalu di sebuah stasiun televisi swasta nasional, Fahri
menyoroti adanya fenomena kebebasan berpikir dan berbicara yang dibatasi melalui pasal-pasal pemidanaan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). "UU ITE dipakai pemerintah dan digandrungi aparat yang membuat aspirasi masyarakat dihentikan dengan dalih pencemaran nama baik," jelas Fahri.

Menurut dia, kondisi ini tidak bisa dibiarkan, yaitu orang menyampaikan kritik atas sebuah persoalan, lalu dipidana dengan pasal-pasal karet di UU ITE. "Aparat jangan gandrung menggunakan pasal tersebut apalagi digunakan untuk saling melaporkan demi kepentingan penguasa," ujar politisi PKS itu.

Fahri mencontohkan pernyataan musisi Ahmad Dhani yang menulis pendapatnya di media sosial bahwa pendukung penista agama layak diludahi mukanya, lalu ditangkap dan dijatuhi hukuman atas pernyataannya itu.

Menurut dia, pernyataan Dhani tersebut sama artinya pendukung kriminalitas layak diludahi mukanya seperti pendukung begal, pendukung teroris, dan pendukung pemerkosa.

"Seolah-olah hukum diinterpretasi sepihak untuk kepentingan penguasa, tidak boleh seperti itu," kata Fahri menambahkan.

Dia mengingatkan bahwa Indonesia mengalami zaman kebangkitan untuk menentang penjajahan kolonial karena kegelisahan pemikiran, lalu muncul gerakan perlawanan.

Oleh karena itu, kata Fahri, salah satu hal yang perlu dilakukan adalah mendorong agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu yang menyatakan bahwa pasal di UU ITE yang terkait dengan pemidanaan seseorang akibat pernyataannya tidak boleh digunakan. "Saya mengusulkan agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu bahwa UU ITE tidak boleh digunakan untuk kasus pencemaran nama baik," demikian Fahri Hamzah menjelaskan pandangannya di forum ILC lalu. (APL/Red)